Menemukan Makna di Balik Setiap Perjalanan


IDENTITAS BUKU
Judul                  :  The Dusty Sneakers
Penulis                : Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang
Penerbit              :  Noura Books (PT Mizan Publika)
Editor                 :   Fiore
Desainer Sampul  :   Iggrafix
Cetakan Pertama : Agustus, 2014
Tebal                  :   272 hlm
ISBN                   :   978-602-1306-32-1



Kenapa saya membeli dan membaca buku ini? Awalnya karena tertarik dengan judulnya: The Dusty Sneakers. Sebagai penyuka sneakers, judul buku ini sangat mudah diingat. Kalimat yang terucap dalam hati ketika membaca sinopsisnya, “Sepertinya bagus!”  Dan satu hal selain karena judul dan sinopsisnya, cover-nya simpel dengan perpaduan dua jenis warna biru pastel yang enak dilihat. 

Bagaimana dengan isinya?
Ini tentang perjalanan …
… dan persahabatan.

Saya sangat suka bagian prolognya. Dari sesuatu hal yang tampaknya sederhana—dari dua pasang sneakers berdebu, diuraikan menjadi ide cemerlang yang melahirkan judul The Dusty Sneakers. Apabila pembukanya menarik, saya akan terus melanjutkan membaca hingga titik terakhir. Itulah yang terjadi. :)

Konsep The Dusty Sneakers ini bagus. Kisah perjalanan dari dua benua yang berbeda dijadikan satu dalam sebuah buku yang layak dibaca di sela hari-hari yang sibuk. Apalagi untuk pembaca yang suka traveling, ya. 

Secara tidak langsung, The Dusty Sneakers mengajarkan kepada kita bagaimana cara bertahan di suatu tempat yang asing.
“Saya selalu mengagumi mereka yang merantau, yang dengan gagah berani membuka diri untuk kemungkinan-kemungkinan tak terbatas di tempat yang sama sekali asing.” (hlm. 76)
The Dusty Sneakers ditulis dari dua sudut pandang yang berbeda, sepasang sahabat yang menjuluki diri mereka sebagai Twosocks dan Gypsytoes. Twosocks menjelajahi sudut-sudut di Indonesia, sedangkan Gypsytoes berkelana di Eropa. Keduanya berkesempatan traveling bersama di Bangalore, India.

Saya suka cara penyampaian Twosocks. Melankolis dan sarat pesan moral. Cerita yang kelihatannya sederhana disampaikan dengan pemaknaan mendalam sehingga saya pun ikut terbawa oleh suasana hati yang dirasakan Twosocks di setiap perjalanannya. Seperti pemaknaan tentang kebebasan pada perjalanannya di daerah Baduy. Bertemu dan merasakan tinggal bersama Suku Baduy membuat Twosocks bertanya-tanya apakah budaya leluhur yang harus dihormati itu harus membatasi hak-hak individu misalnya saja hak untuk memperoleh pendidikan. Dan, apakah kebebasan berbanding lurus dengan kebahagiaan?

Gypsytoes menceritakan kisahnya secara mendetail, seperti karakternya: terstruktur. Ya, patut diacungi jempol. 

Tidak semua perjalanan menyenangkan. Ada kejadian yang unik dan menggelikan di bab “Road Trip”. Saya menertawakan kecerobohan Twosocks dan temannya. Ada pula kisah perjalanan yang sempat mengesalkan yang dialami Gypsytoes di Portugal. 

Gypsytoes membuat saya ingin mengunjungi “Siprus yang Berwarna Biru”. Pemandangan yang ada ditulis dengan detail hingga saya bisa membayangkan keindahan Siprus dengan warnanya yang meneduhkan. Biru.

Salah satu judul yang menarik adalah “Wajah Bali yang Murung Sebelah”. Perumpamaan yang dalam dan dramatis. Mengapa dikatakan murung? 

Twosocks menuturkan tentang keadaan alam Bali yang sekarang jauh berbeda dengan keadaan dulu ketika ia masih tinggal di Bali. Siapa sih, yang tidak tahu Bali yang terkenal dengan eksotismenya? Ketika pertama kalinya saya ke sana, pada hari terakhir berada di Bali, dalam hati saya mengucapkan salam perpisahan di perjalanan meninggalkan tepian pantai. Berjanji akan kembali lagi ke sana. Tiga tahun kemudian, kembali lagi mengunjungi Bali, lalu perasaan ‘terpanggil’ itu muncul. Kini saya ‘terpanggil’ lagi untuk traveling ke Bali karena membaca kisah Twosocks. Ah, Bali memang tidak mudah untuk dilupakan. 

Ehm, nothing's perfect. Seperti halnya buku ini. Ada kata makian di halaman 193 yang membuat saya kurang nyaman ketika membacanya. Menurut saya perlu ada sensor.  Hehehe…

Dialog-dialognya terasa kurang natural karena bahasanya terlalu formal sehingga menciptakan ‘jarak’ di antara percakapan dengan teman, terlebih sahabat. 

Terlepas dari kekurangan itu, tidak ada kesalahan pengetikan dalam buku ini. Editornya sangat teliti.

Kisah yang tak kalah bagus untuk diceritakan adalah saat Gypsytoes kembali ke Jakarta, Indonesia. Pada “Melangkah Pulang”, disebutkan nama Taman Suropati yang tahun lalu pun saya sering ke sana untuk lari pagi. Hehehe… Yang perlu digarisbawahi: Di luar segala kepenatan, Jakarta tidak selalu bernilai negatif. Ada hal-hal yang bisa dinikmati di Jakarta, terutama kalau kita menggunakan sudut pandang sebagai ‘pejalan’, atau petualang. Dan di ibukota Indonesia tercinta ini, banyak event-event bagus yang sayang untuk dilewatkan seperti pertunjukan seni, festival, pameran buku, konser musik, dan sebagainya.

“Jakarta menyimpan berbagai sudut yang mendendangkan kisah-kisah kemanusiaan. Bukankah perjalanan juga tentang itu? Melihat dan merasakan kemanusiaan-kemanusiaan yang ada di sebuah tempat?” (hlm. 256)
Dan ini kutipan yang menarik:
“Kita akan berkenang-kenang dengan setitik perasaan haru. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyimpan harapan-harapan untuk hari-hari yang akan datang. Hari-hari mendatang yang mungkin akan diisi dengan kisah-kisah pertualangan yang tak terbatas. Bukankah tidak ada yang lebih indah dari harapan-harapan?” (hlm. 257)
HARAPAN. Saya pun memiliki harapan untuk keliling Indonesia, Eropa, dan dunia!

Yah, Twosocks dan Gypsytoes sudah mewakili saya berkeliling Indonesia dan Eropa. Pada akhirnya, saya berterima kasih kepada Twosocks dan Gypsytoes yang telah menulis The Dusty Sneakers dengan manis. 

Comments

Popular posts from this blog

Resensi My Melodious Melbourne: Cinta dalam Sebentuk Melodi

Jalani, Nikmati, dan Syukuri Setiap Fase Hidup Kita

Gendis dalam Hening