Review Cerita Pilu Manusia Kekinian
Judul : Cerita Pilu
Manusia Kekinian
Penulis : Edi AH Iyubenu
Penerbit : IRCiSoD
(DIVA Press)
Editor : Rusdianto
Tata Sampul : Ferdika
Cetakan I : Februari
2016
Tebal : 264 halaman
ISBN :
978-602-0806-71-6
Kapan terakhir kali
Anda sempat tertawa, kumpul-kumpul, dinner,
reuni, silaturahmi, mudik, serta memeluk ibu, kerabat, dan para sahabat?
Jika Anda merasa
resah terhadap kehidupan Anda, sekalipun Anda sedang terkenal, cerdas, dan
mapan, patut buru-buru dicurigai bahwa Anda tengah mengidap “penyakit
psikologis” bernama lenyapnya “kesunyian laut di dalam batin”. Sebuah situasi
batin, pula pikiran, yang tak lagi sempat rehat, berhenti, dan merenung, akibat
deraan ganas serba tergopoh rutinitas, karier, target, resolusi, prestasi, dan
sederet hasrat-hasrat muram warisan modernisme dan materialisme.
Buku ini menghantam “narasi-narasi
kejam” lifestyle manusia-manusia
kekinian, yang getol meminggirkan kearifan, tradisi, dan spiritual, dengan cara
mengajak kita merawat kembali sepenuh kasih dan sayang segala nilai hakiki
kemanusiaan kita.
***
Dalam membaca buku-buku non fiksi, terkadang saya membacanya
secara tidak urut. Biasanya dimulai dari judul yang terlihat menarik.
Membacanya secara lompat-lompat, lalu kalau bosan, saya tinggalkan buku itu
untuk dilanjutkan di lain waktu. Namun, kali ini, saya membacanya secara urut
dari judul pertama hingga terakhir. Karena ternyata antara judul satu dan yang
lain memang berkesinambungan.
Cerita Pilu Manusia Kekinian terdiri dari dua bab. Bab pertama
merupakan kumpulan esai tentang renungan-renungan Islami. Bab kedua adalah
renungan-renungan yang sifatnya universal. Diawali dengan judul esai "Hiduplah
dengan Selo". Esai yang pertama saya baca menarik. Bahwa kita perlu menikmati
kelucuan dalam hidup. Banyak hal yang jenaka dalam kehidupan ini. Dalam
perenungan tentang apa-apa yang kita alami, kita bisa mendapati bahwa Tuhan pun
senang bercanda, bukan?
Saya suka analogi lalat dalam toples kaca. Sekali-kali kita
memang perlu bepergian melihat dunia. Maksudnya adalah lihatlah sekitar.
Membaca ayat-ayat kauniyah. Mencoba berpikir dengan perspektif yang lebih luas.
Karena menganggap diri sendirilah yang paling benar hanya akan menjadikan kita
spaneng, tidak selo, nanti lama-lama bisa jadi telo. Hehehe. Pesan moralnya
sangat jelas: Jangan mudah menghakimi orang lain, apalagi menghitung dosa-dosa
mereka. Lebih baik kita introspeksi diri, menghisab dosa kita sendiri sebelum
mengarahkan jari telunjuk ke orang lain, menuding mereka salah dan merasa kitalah
yang paling benar.
Esai di bab pertama yang tak kalah menarik adalah “Dakwah
Itu Kasih yang Santai”.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa segala bentuk dakwah yang mencerca pihak lain, menyakiti orang lain, apalagi memukul orang lain, yang memantik dampak negatif secara relasi sosial, haruslah dihindari sebab tidak sesuai dengan prinsip-prinsip berdakwah sebagaimana dimaksud. (Hlm. 40)
Nah, kalau kita menemukan satu bentuk dakwah, misalnya dari
meme, gambar yang diberi tulisan, dan dengan keras menghardik orang yang belum
bertindak sesuai syariat Islam, sejatinya itu bukan dakwah yang benar. Meskipun
maksudnya baik, tetapi kalau disampaikan dengan cara yang keras sampai
menyinggung perasaan orang yang membaca, hmm.... apakah itu benar dalam ajaran
agama?
Bagaimanapun, pluralitas alias keragaman pemahaman, pilihan hidup, hingga agama, adalah sunnatullah. Kehendak Allah Swt. Menentang pluralitas sama dengan melancangi kehendak Gusti Allah Swt. (hlm. 40-41)
Dalam esai “Nilai”, bagian yang begitu menohok adalah
kalimat tanya penutup pada halaman 45:
Adakah yang lebih berharga untuk diperjuangkan dalam hidup kita selain ketenteraman jiwa?
Judul esai yang menarik lainnya adalah "Gerakan Muslim
Akun-akunan". Apa isinya? Bisa ditebak dari judulnya. Hehehe...
Pada judul esai “Ontran-Ontran Islam Nusantara”, ya, saya
sempat dibikin bingung oleh orang-orang yang ambil pusing karena istilah Islam
Nusantara. Lantas menganggap gagasan Islam Nusantara adalah sesuatu yang sesat
dsb.
Tampaknya, K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) sangat memaklumi runyakan paranoia pada Islam nusantara ini semata akibat “kesalahpahaman” istilah. Beliau pun lalu menjabarkan: kata “Nusantara” itu akan salah maksud jika dipahami dalam struktur na’at-man’ut (penyifatan), sehingga artinya menjadi “Islam yang dinusantarakan”; tetapi akan benar jika diletakkan dalam struktur idhafah (penunjukan tempat), sehingga artinya menjadi: “Islam di Nusantara.”
Penutup esai ini begitu menggelitik:
Kini, apa sudah bisa lebih bersantai? :D
Hampir semua esainya menarik. Banyak hal yang diulas Pak Edi
menjawab apa yang selama ini saya pertanyakan. Namun, ada sedikit
kekurangan dalam buku ini. Seperti typo
pada halaman 35:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya; jika masih tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya imam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sejauh yang saya pernah baca, hadits serupa menyebutkan kata
‘iman’, bukan ‘imam’. Correct me if I’m wrong. (^,^)v
Pada halaman 147 terjadi salah ketik judul: Risiko Semata
Menuhakankan Fiqh. Mungkin maksudnya kata ‘Menuhakankan’ adalah ‘Menuhankan’. Duh,
sayang sekali Mas Editornya kurang teliti. L Dan masih ada sejumlah typo lainnya. Tetapi masih dalam batas wajar.
Dalam "Risiko Semata Menuhankan Fiqh", terdapat pernyataan sbb:
Inilah risiko terbesar jika kita semata menuhankan fiqh dalam jenjang-jenjang keislaman kita. Kita akan terus-menerus terbelenggu jeruji ikhtilaf sampai alpa hakikat. (Hlm. 154)
Saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Wajar saja
jika kehidupan warga Indonesia masih begini-begini saja. Saat orang-orang di
luar negeri memikirkan tentang adanya kehidupan di galaksi lain, kita
(khususnya umat Islam) masih saja berseteru meributkan masalah fiqh. Bahkan
yang seringkali diributkan adalah hal yang jauh dari kata esensial. Ironis. Hmmh...
Pada “Mudiklah Biar Bisa Jadi Manusia (Lagi)”, kita
(khususnya perantau) akan disadarkan tentang makna pentingnya kembali berkumpul
bersama keluarga setelah hal serupa sebelumnya diulas dalam esai berjudul “Para
Pembunuh Keluarga”.
Rahim suci yang setia menunggu di kampung halaman tak pernah layak dihitung dengan kalkulator untung rugi bak dagangan tanpa muara; sebab hidup kita ini aslinya semata untuk menjadi manusia. Tiada yang lebih berharga dan asali daripada berjuang menjadi manusia. (Hlm. 189)
Banyak sekali untaian kalimat yang sangat layak disimpan
dalam folder Quote.
Serakah adalah antitesis kemanusiaan, sehingga ia memang harus ditumbangkan. (Uang dan Kemanusiaan Kita, hlm. 211)
....kita telah sangat akut mengidap Fir’aun-delusive-disorder-syndrome. (Masyarakat Tendensius, hlm. 228).
Sindrom tersebut menjangkiti psikis kita, menganggap diri
paling benar, seperti Fir’aun yang menganggap dirinya Tuhan. Lama-lama kita
semakin mirip Fir’aun. Naudzubillahimindzalik.
Secara keseluruhan, Cerita Pilu Manusia Kekinian merupakan
kumpulan esai yang mencerahkan. Membuka mata pembaca agar tak hanya melihat ke satu
arah. Mengajak pembaca untuk bertafakur, merenung, berpikir untuk apa dan mengapa
kita hidup di dunia ini. Sekaligus mengajak pembaca untuk mensyukuri segala yang ada di diri kita, segala titipan Tuhan.
Ulasan-ulasan dalam buku ini tak
terlalu panjang dan disampaikan dengan bahasa yang santai, sehingga menjadikan tema yang sebenarnya berat terasa dinamis, tak bertele-tele, dan jauh dari kata membosankan. Sangat
relevan dengan dunia yang kian modern. Disertai penjelasan ilmiah dan referensi
dari penulis hebat, esai-esai dalam buku ini bukan hanya sekadar argumentasi. Tak
salah bila saya pernah mengatakan bahwa buku ini adalah bacaan bergizi manusia
kekinian.
Karena Pak Edi juga menulis fiksi, tak heran jika untaian
kalimatnya penuh diksi dan terasa melodramatis. Tapi memang kehidupan manusia
modern itu sendiri dramatis dan ironis.
Dengan rendah hatinya, Pak Edi menyebut kata ‘kita’ bukan
‘Anda’ atau ‘kamu’. Karena sudah menjadi tugas manusia untuk saling
mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. ^^
Anda yang mengaku modern, saya rekomendasikan untuk
membaca buku ini.
Comments
Post a Comment