Tempat-tempat Terang itu Sesungguhnya Ada

Identitas Buku

Judul : All The Bright Places: Tempat-tempat Terang
Penulis Jenniver Niven
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa Angelic Zaizai
Editor : Tri Saputra Sakti & Dini Pandia
Desainer Sampul : Yulianto Qin
Tebal 400 halaman
ISBN 9786020363363
 
Theodore Finch terobsesi pada kematian, dan terus-menerus memikirkan berbagai cara untuk bunuh diri. Namun, setiap ali, sesuatu yang positif, meski sepele, selalu menghentikannya.
Violet Markey selalu memikirkan masa depan, menghitung hari sampai tiba hari kelulusannya, karena itu berarti ia akan bisa meninggalkan kota kecil tempat ia tinggal dan kesedihan mendalam akibat kematian kakaknya.
Ketika Finch dan Violet bertemu di tubir menara lonceng sekolah, tidak jelas siapa yang menyelamatkan siapa. Dan ketika mrereka bekerja sama untuk mengerjakan tugas, Finch dan Violet malah menyadari hal-hal lain yang lebih penting: hanya bersama Violet-lah Finch bisa menjadi diri sendiri—cowok nyentrik, lucu, yang menikmati hidup dan ternyta sama sekali tidak aneh. Dan hanya bersama Finch-lah Violet bisa mulai menikmati hidup.
Tetapi, seiring meluasnya dunia Violet, dunia Finch ternyata justru mulai menyusut.
***  
Entah apa yang ada di pikiran Violet Markey dan Theodore Finch ketika mereka berada di menara lonceng sekolah. Melakukan percobaan bunuh diri atau sekadar mengira-ngira? Finch lebih dulu berada di sana.

Violet dan Finch ternyata berada di kelas yang sama, yaitu mata pelajaran Geografi Amerika. Sejak kejadian di menara lonceng itu, Finch sudah tertarik dengan Violet. Ia mengajak Violet untuk menjadi satu tim dalam mengerjakan proyek Geografi Amerika.

Mereka menjelajahi negara bagian tempat mereka tinggal, Indiana. Violet yang memiliki trauma melakukan perjalanan dengan mobil, hanya mau mengunjungi tempat-tempat di Indiana dengan sepeda. Banyak titik-titik di Indiana yang belum disinggahi Violet--dan ternyata tempat-tempat tersebut indah. Tentu berkat Finch, ia bisa merasakan bahwa dunia ini indah.
"Masalah manusia adalah mereka lupa bahwa seringnya hal-hal kecillah yang berarti. Semua orang sangat sibuk menunggu di Tempat Menunggu. Seandainya kita berhenti untuk mengingat bahwa ada sesuatu seperti Menara Purina dan pemandangan seperti ini, kita semua pasti akan lebih bahagia." (Hal. 163)
Finch adalah korban keluarga broken home. Ia tinggal bersama ibu, seorang kakak dan adik perempuan. Setiap minggu ia harus berkunjung ke kediaman ayah kandung yang dibencinya karena pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Ayahnya memiliki keluarga baru yang tampak bahagia dan ideal. Hal itulah yang tak dimiliki Finch.

Sebuah kejadian di sekolah membuat Finch dijuluki sebagai seseorang yang aneh. Pelabelan itu membuat Finch sangat terganggu. Ia merasa tidak seperti orang kebanyakan, bahkan ia menganggap dirinya rusak. Ia terobsesi dengan kematian dengan cara mengakhiri hidupnya sendiri. Berbagai informasi tentang cara mengakhiri hidup telah dicari dan dipikirkannya. Namun, ketika ia menemukan sesuatu yang positif, suicidal thoughts itu teredam.

"Bagiku otakku adalah peranti yang paling tak bisa diandalkan—selalu berdesing, berdengung, membubung, meraung, menyelam, kemudian terkubur dalam lumpur. Dan mengapa? Apa gunanya gairah ini?” (Hal. 83)
Novel setebal 400 halaman ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk saya selesaikan. Ada hal-hal yang menurut saya tidak perlu dijabarkan. Keitka tiba pada bagian yang membosankan, ada dorongan yang membuat saya harus membacanya hingga akhir.

Setelah membaca buku ini, saya mencoba cuek, tidak terbawa emosi, meyakinkan diri sendiri bahwa ini hanya fiksi. Lalu saya membaca catatan pengarang. Di situlah saya merasakan betapa berat menjadi Violet.

Saya mengalami book hangover lagi sepertinya. Tidak separah setelah membaca By The Time You Read This I'll be Dead, sih. Tetapi novel ini masih meninggalkan perasaan pilu.

Jenniver Niven berhasil menghidupkan karakter Theodore Finch seolah sosoknya nyata. Finch tidak sepenuhnya aneh, mungkin nyentrik, tetapi ia remaja yang baik. Hanya saja tidak bisa diprediksi. Mungkin dia memang menderita bipolar disorder. Konselor sekolah mengatakan demikian. Tetapi asesmen terhadap gangguan psikologis yang dialami Finch tidak dijelaskan lebih jauh. Mungkin akan lebih menarik jika novel ini menceritakan sesi konseling Finch dengan asesmen bersama psikolog untuk mendiagnosa kepribadiannya.

KDRT yang dilakukan ayah Finch menimbulkan trauma psikologis berkepanjangan terutama bagi Finch. Ibu Finch sebagai single parent begitu abai dengan kondisi anak-anaknya, mungkin karena terlalu lelah bekerja? Pertanyaan yang dia ajukan kepada anak-anaknya ketika makan malam--'Bagaimana pelajaranmu hari ini?'--hanyalah formalitas. Argh, geregetan sekali dengan ibu Finch. Lelah bekerja itu pasti. Tetapi sebagai ibu tidak semestinya dia abai dengan hal-hal ganjil pada anaknya.
Pertanyaan tidak penting dari saya: Mengapa Violet tidak memanggil Theodore Finch dengan nama panggilan Theo--tapi dengan nama belakangnya? Padahal hubungan mereka sangat dekat. Hmm... Apa Finch lebih terdengar seperti spesies burung? Entahlah.

Satu poin besar yang perlu digarisbawahi: Mental illness itu nyata. Pelabelan atau stigma bisa memperparah gangguan psikologis bagi orang yang diberi label negatif. Bullying bukan hal yang remeh.

Kita tak bisa memungkiri bahwa kadang kesedihan datang tanpa henti. Namun, bukankah ada saatnya seseorang juga merasakan bahagia meski rasanya hanya sebentar? Socrates dalam catatan Plato pernah menyatakan kurang lebih bahwa kebahagiaan dan kesedihan bukanlah dua hal yang berlawanan. Yang satu datang setelah yang lain. Begitu seterusnya.
Seperti judul buku ini: All The Bright Places. Tempat-tempat terang itu sesungguhnya ada. Cahaya itu ada. Dunia ini tak segelap yang dikira Violet dan Finch ketika mereka merasa 'rusak'.

Jika saya diizinkan merencanakan apa yang akan tertulis di epitaf saya, yang terpikir saat ini adalah: Tetaplah berjuang melanjutkan hidup, karena ada hal-hal indah menantimu.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi My Melodious Melbourne: Cinta dalam Sebentuk Melodi

Jalani, Nikmati, dan Syukuri Setiap Fase Hidup Kita

Gendis dalam Hening