Review A untuk Amanda

 Judul: A untuk Amanda
Penulis: Annisa Ihsani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama: Maret 2016
ISBN: 9786020326313


Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.

Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bisa beruntung setiap saat, kan?

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.

Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.
  ***
Amanda adalah seorang murid SMA yang selalu mendapatkan nilai A di sekolahnya. Dia rajin belajar, seringkali mempertanyakan akan banyak hal, termasuk mempertanyakan tentang dirinya sendiri.

Amanda merupakan sosok yang perfeksionis. Karena terbiasa mendapatkan nilai yang tinggi, dia akan kecewa bila nilainya kemudian mengalami penurunan meskipun hanya sedikit. Selain perfeksionis, Amanda juga kritis dan sarkastis. Hal tersebut membuat Amanda terlihat sebagai seseorang yang menyebalkan.

Suatu kali, Amanda menjawab pertanyaan dari gurunya. Namun, ternyata jawabannya salah. Amanda mulai ragu, apakah dia salah memahami materi pelajaran? Apakah selama ini dia hanya beruntung karena sebelumnya selalu bisa menjawab semua pertanyaan guru dengan benar?

Ternyata Amanda mengalami gejala impostor syndrome. Gangguan ini justru menimpa Amanda ketika dia merasa hidupnya sempurna: nilai akademis yang selalu bagus dan dia memiliki pacar sebaik Tommy. Amanda merasa menipu banyak orang, bahwa dirinya sebenarnya tidak pandai, bahwa prestasinya yang diperoleh selama ini hanyalah faktor keberuntungan. Amanda yang ambisius diliputi ketakutan akan pendapat orang-orang bahwa dirinya tak sepintar yang mereka kira. Terkadang, Amanda membandingkan dirinya dengan temannya yang menurutnya lebih cerdas. Dia mulai meragukan kemampuan diri sendiri, kehilangan kepercayaan diri, hingga menjadi depresi yang membuat dirinya menjalani psikoterapi dengan psikiater yaitu Dokter Eli.

Teknik yang digunakan Dokter Eli dalam menanganani Amanda menggunakan konsep teknik maiuetik yang dicetuskan oleh Socrates. Dokter Eli mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memancing Amanda menemukan akar masalah dan jalan penyelesaiannya sendiri.

Di dalam kehidupan nyata, banyak orang menggampangkan masalah yang menimpa orang lain, misalnya dengan berkomentar, “Itu kan, hal sepele. Mengapa diambil pusing?” Masalah yang menimpa Amanda tak sesederhana itu. Karena dia sering berkontemplasi tentang banyak hal, dia butuh seseorang untuk memberi support agar dia tak berpikir berlebihan, memberi dukungan bahwa mendapatkan nilai sedikit lebih rendah bukanlah malapetaka. Di sini, peran lingkungan di sekitar Amanda menjadi penting. Namun, Tommy, justru menganggap remeh kepenatan pikiran yang dialami Amanda. Ayah Amanda sudah lama meninggal. Amanda yang anak tunggal, hanya hidup berdua bersama ibunya. Menurut saya, ibu Amanda cukup aware dengan kondisi kejiwaan anaknya, tetapi sikapnya tak seperti seorang sahabat. Ibunya lebih mudah mengingat nilai kuis Amanda pada pelajaran Ekonomi dibandingkan dengan mengingat apa yang disukai Amanda. Bagaimanapun, penderita depresi sangat butuh berbagi dengan orang terdekatnya, tetapi ibu Amanda sepertinya kurang memahami apa yang dirasakan anaknya.

Di novel ini disebutkan bahwa Amanda agnostik, dia tahu bahwa alam semesta ini begitu luar biasa, ada kekuatan besar lain di luar sana, tetapi dia tidak yakin dengan keberadaan Tuhan karena belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Aku mulai menyimpan keraguan akan adanya surga, kehidupan setelah mati, dan bahkan Tuhan sendiri. Atau lebih tepatnya, aku tidak memahami-Nya. Misalnya, jika Tuhan memang ada, kenapa Dia menciptakan hukum fisika yang mengatur alam semesta, lalu melanggarnya saat membuat peristiwa penuh mukjizat untuk para nabi? Kenapa Dia menciptakan dinosaurus hanya untuk memusnahkan mereka lagi pada akhirnya? Hanya sekadar bereksperimen? Dan jika Bumi diciptakan untuk manusia, kenapa menunda-nunda pekerjaan baru membiarkan Homo sapiens menapakinya sekitar 200.000 tahun yang lalu padahal planet ini sudah ada sekitar 4.6 miliar tahun lalu? (Hlm. 24)
Pemikiran tentang keberadaannya di dunia ini ada lagi di halaman 86:
Aku menginginkan—tidak, aku lapar akan—semacam makna, pertanda keberadaanku di sini ada pengaruhnya bagi alam semesta. Mungkin inilah alasannya orang membutuhkan Tuhan—untuk mengetahui ada alasan yang lebih penting atas keberadaan mereka daripada sekadar produk evolusi.
Penulis mencoba menunjukkan secara implisit kepada pembaca, bahwa tidak semua gangguan kejiwaan disebabkan oleh rendahnya tingkat spiritualitas seseorang. Buktinya Amanda banyak berpikir, berkontemplasi, berfilsafat tentang alam semesta dan hal-hal yang terjadi padanya.

Masalah yang umum menimpa remaja, selain masalah percintaan adalah masalah nilai akademis. Amanda sangat ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi ternama yang kualitasnya bagus. Nilai akademis menjadi faktor yang sangat penting agar bisa lolos di perguruan tinggi tersebut. Di sinilah bagian yang patut dijadikan bahan refleksi di dunia pendidikan, khususnya di Indonesia: para guru dan sistem pendidikan kita lebih mementingkan nilai akademis daripada soft skill atau bakat masing-masing siswa. Begitu minimnya pelajaran pengembangan diri misalnya tentang bagaimana siswa melakukan problem solving.

Ada sedikit kekurangan dalam novel ini. Misalnya setting tempat yang tidak disebutkan jelas di kota dan negara mana. Sebagian hal seperti menu makanan dan suasana sekolah sangat terasa Indonesia, sebagian yang lain seperti awal masuk sekolah yang dimulai September, tidak seperti di Indonesia. Tetapi hal itu bukan masalah yang terlalu penting karena tak memengaruhi konflik utama. Ada pula typo di halaman 104:
Dia pikir itu alasanku itu pernah mengangkat tangan lagi di kelas?
Mungkin maksudnya adalah: Dia pikir itu alasanku tidak pernah mengangkat tangan lagi di kelas?

Secara keseluruhan, novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama ini sangat menarik. Karena diceritakan dari sudut pandang Amanda sendiri, pembaca bisa turut merasakan apa yang Amanda rasakan. Penulis mampu menjabarkan sains, psikologi, dan filsafat membentuk kesatuan novel utuh yang kaya makna.[]

Comments

Popular posts from this blog

Resensi My Melodious Melbourne: Cinta dalam Sebentuk Melodi

Jalani, Nikmati, dan Syukuri Setiap Fase Hidup Kita

Gendis dalam Hening