Review Novel San Francisco


Identitas Buku
Judul : San Francisco
Penulis : Ziggy Zezsyazoeviennazabrizkie
Penerbit : Grasindo
Editor : Septi Ws
Cetakan pertama : 2016
ISBN : 978-602-375-592-9


Satu-satunya yang menarik dari cowok bernama Ansel adalah badannya yang ketinggian, kegemarannya akan musik klasik, dan senar-senar harpa di ujung jarinya. Ansel bekrja di Suicide Prevention Center, bertugas mengangkat telepon, hingga akhirnya ia menemukan hal menarik yang baru: Rani--gadis dari negeri asing yang mengiris nadi setiap dua hari sekali.

Sekarang sebagian besar kehidupan Ansel berputar di sekitar Rani. Dan, Ansel bertanya-tanya apakah pertemuan mereka di Golden Gate Bridge San Fransisco adalah takdir, atau sekadar kesialan? Karena dari sini, mobil kabel yang membawa kisah mereka bisa saja menanjak terus hingga setengah jalan menuju bintang, atau justru terjebak dalam kabut di atas perairan biru dan berangin San Francisco.
***

Bab pembuka San Francisco sangat menarik. Rani, gadis Indonesia yang menjalani studi di bidang seni, menelepon Suicide Prevention Center karena ia merasa akan mengakhiri hidupnya. Ansel yang bekerja paruh waktu di sana mengangkat telepon. Bukannya meminta pertolongan, Rani justru meminta Ansel menebak lagu yang dinyanyikannya.

Bukan kota San Francisco sendiri yang banyak dibahas di sini, melainkan Golden Gate Bridge dan isu bunuh diri. Banyak orang yang melakukan bunuh diri di jembatan berwarna oranye itu dengan alasan entah apa. Begitu pula Rani … juga Ansel.

Rani mengalami ASAD (Adult Separation Anxiety Disorder), gangguan kecemasan yang terjadi karena harus berpisah dengan sesuatu yang sudah melekat, menjadi bagian dari hidupnya. Meskipun ada Benji, pacarnya, Rani belum bisa benar-benar sembuh dari keinginan mengakhiri hidup. Lalu ia bertemu Ansel di Golden Gate Bridge.

Ansel penyuka musik klasik, ia pandai memainkan harpa. Ia banyak menghubungkan kisah pribadi musisi klasik dengan filosofi kisah cintanya sendiri bersama Ada. Hm, dalam novel ini ada jalinan hubungan yang cukup kompleks antara Rani-Ansel-Ada-Benji.

“Kurasa Benji tidak menginginkan seseorang yang serumit diriku.” (hal. 121)
“Orang-orang yang sangat berbeda bisa saja tetap hidup bersama, tapi kalau mereka bertentangan dalam hal paling dasar, sepertinya sangat sulit dijalani.” (hal. 198)
Poin plus novel ini adalah pembuka yang menarik, dan ending yang berwujud seperti epilog yang ‘nyambung’ dengan awal perjumpaan Rani dan Ansel. Sayangnya, bagian tengah cerita cukup membosankan. Sebagai pembaca yang concern dengan isu psikologis, saya tidak tertarik dengan performa Benji di panggung, musisi klasik, judul-judul lagunya, ataupun nama bab-bab yang sesuai dengan filosofi musik klasik. Maaf, saya tidak peduli dengan detail tersebut. Terlalu banyak informasi yang rasanya ingin dimuntahkan penulis.

Ada plot twist dalam novel ini. Sayangnya tidak terlalu mengejutkan atau memberi pengaruh yang besar pada inti cerita.

Apakah novel ini semula ditulis dalam Bahasa Inggris kemudian diterjemahkan oleh penulis sendiri? Saya kurang tahu. Percakapan Ansel dan Rani ditulis dalam Bahasa Inggris lalu diterjemahkan dengan font yang lebih kecil. Hal ini membuat pembaca agak lelah (jadi baca dua kali). Cara Ziggy bercerita membuat saya berada di antara membaca novel terjemahan dan novel Indonesia dengan ide cerita yang tidak biasa. Memang terkadang terasa aneh, membaca novel yang ditulis oleh penulis Indonesia tetapi latar tempat dan tokoh-tokohnya ada di luar negeri. Namun, konsep ceritanya sendiri bagus. Bagaimana culture shock terjadi dan menimbulkan gangguan kecemasan ditampilkan dalam novel secara implisit. Pesan moral pun tersirat dengan cara yang manis.

“Kau selalu menyukai hal-hal yang menyakitimu, Ansel. Tapi masalahnya, di dunia nyata, yang pecah bukan kulit jarimu; tapi hatimu.” (hal. 181)
“Yang melukaimu mungkin juga sama hancurnya denganmu. Tapi mungkin kalian sama-sama merasakan sakit karena kalian dalam proses penciptaan sesuatu yang luar biasa. Kalau kau memutuskan untuk mundur, kau merasa sakit dengan sia-sia.” (hal. 114)

3,5 bintang dari saya.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi My Melodious Melbourne: Cinta dalam Sebentuk Melodi

Jalani, Nikmati, dan Syukuri Setiap Fase Hidup Kita

Gendis dalam Hening