Stay Alive, Being Alive

Identitas Buku

Judul : Reasons to Stay Alive

Penulis : Matt Haig

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Penerjemah : Rosemary Kesauly

Editor : Miranda Malonka

Cetakan pertama : 2018

ISBN : 978-602-03-8660-7


Awal mula saya membeli buku ini adalah karena akan menghadiri talkshow dengan tema self love yang juga membahas buku Reasons to Stay Alive. Jadi pikir saya, baca bukunya dulu agar ketika ada pembahasan mengenai isi buku ini, saya tidak blank. Hehehe.

Sebelumnya saya pernah membaca sedikit ulasannya. Blurb-nya memberi kesan, “Wah, kayaknya oke banget nih!” Maka tertanam lah ekspektasi yang tinggi tentang kisah Matt Haig melawan depresi. Eh, bukan melawan. Berjuang melewati depresi dan terus melanjutkan hidup.

Matt menceritakan pengalaman depresinya saat ia bekerja di Spanyol, di daerah bernama Ibiza. Pemandangannya indah (hasil googling). Sayangnya, Matt tidak menceritakan bagaimana awal mula depresi itu menyerangnya. Depresi bisa berawal dari gangguan kecemasan atau sebaliknya, gangguan kecemasan terjadi akibat depresi. Gangguan mental yang dialami oleh Matt tidak sesederhana stigma: Dia terlalu berlebihan dalam menanggapi segala sesuatu. Bahasa gaulnya: Ah, baperan! Mari berhenti menghakimi bahwa penderita depresi itu:
  • Jauh dari Tuhan, tidak religius
  • Lebay
  • Gila
  • Tolol (ini kata terjahat yang pernah saya dengar dari orang yang menghakimi keputusan Chester Bennington mengakhiri hidupnya karena depresi)
Kebanyakan orang awam khususnya di Indonesia, memandang sepele mengenai kesehatan mental. Bahkan meremehkan mereka yang mengalami mental disorder. Setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda untuk menahan stressor. Gangguan mental tidak bisa dilihat dari satu penyebab saja. Ada manusia yang memang didesain Tuhan memiliki amygdala (bagian dari sistem limbik di otak yang mengatur mengenai emosi) berukuran lebih kecil, sehingga merespons emosi lebih besar daripada orang lain. Ada pula yang keseimbangan neurotransmitternya kurang. Khususnya kadar serotonin yang rendah, sehingga rentan stress, atau kadar kortisolnya lebih banyak. Agak rumit jika dijelaskan secara neurologis. Intinya, penyebab depresi itu kompleks. Faktor genetika juga memiliki peran dalam terjadinya depresi.

Reasons to Stay Alive dengan jujur mengungkapkan depresi yang dialami Matt Haig. Meskipun tidak dideskripsikan secara jelas dan sistematis, sepertinya penyebab utamanya adalah beban pekerjaan Matt Haig. Namun, ia didampingi Andrea yang setia menemaninya hingga Matt sembuh dari depresi.

Hal yang membuat saya cukup terkejut adalah bahwa ternyata banyak orang besar dan terkenal di dunia yang juga penyintas depresi: Abraham Lincoln, Winston Churchill, Arthur Schopenhauer, hingga Franz Kafka (ini sudah saya duga dari karya-karyanya sih). Jadi jika Anda mengalami momen buruk, sedih berkepanjangan, sulit tidur atau terlalu banyak tidur, enggan melakukan hal yang disenangi, terima perasaan itu. Depresi akan berlalu. Bahkan pengalaman pahit itu dapat menginsipirasi penyintas untuk melakukan hal-hal besar. 😊

Dalam buku ini, Matt memberikan 40 tips, di antaranya:
  • Bersikap lembutlah pada diri sendiri. Kurangi kerja. Tidurlah lebih banyak. (Tips paling favorit)
  • Masa lalu sama sekali tidak bisa diubah. Sudah seperti itu kenyataannya.
  • Kurt Vonnegut benar. “Membaca dan menulis merupakan bentuk meditasi paling memuaskan yang pernah ditemukan seseorang.”
  • Perbanyak mendengar dibanding bicara.
  • Live. Love. Let go. Tiga L.
- 
Hentikan stigma negatif pada penderita depresi atau gangguan mental lainnya. Depresi sama mengerikannya dengan penyakit biologis atau fisiologis seperti kanker.

Selain memaparkan pengalaman pribadi, Matt Haig juga menyertakan pemikiran-pemikiran filsuf seperti Arthur Schopenhauer yang ada benarnya:
“Kita meniup gelembung-gelembung sabun selama dan sebesar mungkin, meskipun kita tahu dengan pasti gelembung itu akan pecah.”
Tujuan-tujuan yang terlalu banyak, hanya akan menghadirkan kekecewaan. Menurut Schopenhauer, penyebab penderitaan adalah intensitas kehendak. Lalu, bagaimana solusinya? Bisa Anda temukan dalam buku ini. Jika penasaran, maka bacalah sampai akhir. 😊

Comments

Popular posts from this blog

Resensi My Melodious Melbourne: Cinta dalam Sebentuk Melodi

Jalani, Nikmati, dan Syukuri Setiap Fase Hidup Kita

Gendis dalam Hening