Gendis dalam Hening
Identitas Buku
Judul : Perihal Gendis
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Penyelia
Naskah : Mirna Yulistianti
Desain
Sampul : Suprianto
Tebal : 58 halaman
Cetakan Pertama : Oktober 2018
ISBN : 978-602-03-9841-9
TAK
PERLU
Barangkali
tidak perlu
mencari
tahu
dan
menjadi risau kenapa
Ayah
ke Selatan
Ibu
ke Utara.
Aku
ingin ke Barat
sendiri
saja
membelakangi
bukit Timur
sarang
matahari pagi itu.
Tidak
perlu
menjadi
risau.
Tidak perlu
sama sekali.
***
Di
dalam Bahasa Jawa, Gendis ditulis dengan gendhis,
yang huruf d-nya diucapkan dengan penekanan. Kata gendhis sendiri berarti gula. Sampai sekarang, Gendis masih dipakai
sebagai nama anak perempuan. Tetapi Gendis dalam antologi puisi ini bisa
merepresentasikan siapa saja, yang selalu bertanya-tanya di dalam keheningan.
Buku
kumpulan puisi Perihal Gendis berisi
15 puisi dan jumlahnya tidak genap 60 halaman. Namun, mampu membuat saya sebagai
pembaca menjadi merinding. Lalu hening.
Pak
Sapardi meramu kata yang sederhana menjadi berbagai puisi yang tak biasa. Sebagian
besar gambaran yang tampak dalam puisi-puisi di dalam buku ini adalah tentang
kesepian seorang gadis yang sedang mengalami transisi masa remaja dan masa
dewasa. Gendis bertanya kepada kupu-kupu, mawar, burung, hingga ulat:
GENDIS:Ulat, kapan kau(tak letih-letihMengunyah daun)Menjadi kepompong?
(halaman 6)
ULAT:Semua gadismemiliki sayapsemua gadissangat tangkasmengepak-ngepakkannya.(Percakapan di Luar Riuh Suara, halaman 7)
GENDIS:Sesungguhnya yang benar-benar aku inginkan darimu adalah ketulusan menerima apa saja yang kukatakan padamu dengan berbisik dengan gemetar dengan ragu-ragu dengan penuh keyakinan tentang hubungan kita yang sebentar dekat sebentar jauh sejenak tenang sejenak riuh yang kupahami tapi tak kaupahami yang kaupahami tapi tak kupahami.
Selain
tentang kesepian, puisi di dalam Perihal
Gendis juga menyampaikan pesan mengenai waktu. Puisi yang berjudul “Langit-langit”
menyiratkan bahwa manusia bisa ditelan dan ditenggelamkan oleh waktu.
Membaca
Perihal Gendis sepintas lalu tidaklah
cukup karena sajak-sajak yang tertuang memiliki semacam magnet bagi pembaca
agar mererenungkan isinya dengan khidmat. Terutama sajak perihal pencarian
hakikat diri melalui kontemplasi dan interaksi dengan benda-benda di alam
semesta. Hal ini mengingatkan saya kepada sebaris kalimat dalam salah satu
sajak Aan Mansyur: “Semua benda bicara jika kau menyimak.” Meskipun benda-benda
di alam ini tampak diam, mereka menyampaikan sesuatu kepada kita.
Apa
yang ada di benak gendis bisa diinterpretasikan sebagai kekhawatiran sekaligus
keinginan menghadapi dunia luar, yang sering disebut oleh manusia dewasa
sebagai ‘realitas’. Membaca sajak-sajak dalam buku ini membuat saya seperti
menjadi bawang merah yang dikupas perlahan, selapis demi selapis.
Salah
satu puisi yang menjadi favorit saya adalah yang berjudul “Hening” yang terdiri
dari enam bagian, dengan bait-baitnya sebagai berikut:
/ii/Hening adalah ketika terdengarDendang gerimistanpa partiturmembasahi kelokan-kelokan tajamsepanjang lorongkeberadaanku(halaman 13)
/vi/Hening adalahketika akutak lagimampumengejaapa punyang baru sajakuucapkan.(halaman 19)
Apakah
bait bagian enam tersebut secara implisit membicarakan tentang kematian? Pembaca
boleh menafsirkannya sendiri.
Akhirnya,
saya merekomendasikan antologi puisi ini untuk siapa pun yang suka membaca. Selamat
menyelami pikiran Gendis. Gendis adalah
kita, yang selalu bertanya-tanya dalam hening.
gendis, kamu bikin galau.
ReplyDeletehanya beberapa puisi yang ku baca dari blog ini membuatku tersadar apa tujuanku berada dibumi ini ?
apa manfaatku untuk seluruh makhluk hidup disekelilingku.
asekkkk
jadi pengen beli bukunya
sukses terus ya kaaaa <3
Ga nyesel kok beli. Belii dan tulis reviewnya. Heuu
DeleteSukses juga Apriy <3