RESENSI NOVEL 12 MENIT
Identitas Buku
Judul Buku : 12 Menit
Penulis :
Oka Aurora
Penerbit :
Noura Books
Cetakan : Pertama, Mei 2013
Tebal :
xiv + 348 halaman
ISBN :
979-602-7816-33-6
Apakah
harus merasa “kecil” karena berasal dari kota kecil? Tentu saja tidak! Entah
siapa pun itu. Entah dari mana dia berasal, semua orang berhak untuk berhasil. Semua
orang berhak meraih impian. Dan tinggal di kota kecil yang jauh dari keramaian
kota bukanlah hal besar yang patut dijadikan alasan untuk berkecil hati dalam
mencapai keberhasilan dan meraih mimpi.
Tim
marching
band Bontang
Pupuk Kaltim yang dipimpin oleh pelatih baru, Rene—yang berasal
dari Jakarta, sebenarnya memiliki potensi untuk melaju ke GPMB (Grand Prix Marching Band). GPMB
merupakan perhelatan akbar yang diadakan setiap tahun, tempat di mana marching band ternama dari seluruh
Indonesia berlaga untuk memperebutkan gelar juara. Sayangnya, para anggotanya
pesimistis, merasa bahwa menjadi juara adalah sesuatu yang hampir mustahil
hanya karena mereka berasal dari daerah terpencil.
Rene,
sang pelatih profesional yang pernah tiga kali berturut-turut memimpin tim marching band terdahulunya menjadi
juara umum dalam ajang GPMB, harus berusaha keras mengarahkan dan membimbing
anak didiknya yang mempunyai tingkat kepercayaan diri rendah. Tidak mudah.
Butuh usaha keras untuk membesarkan hati tim marching band Bontang Pupuk Kaltim yang menjadi kebanggaan
masyarakat Bontang itu. Dia mendidik dengan tegas, bahkan sangat keras, sesuai
dengan karakternya: keras kepala.
“Dua
belas menit ini yang akan menentukan apakah kita akan juara. Dua belas menit
ini yang menentukan apa yang akan kita kenang seumur hidup.” (Rene, halaman 83)
Di
saat perhelatan akan tiba, berbagai permasalahan pelik terjadi. Elaine, salah
seorang anggota baru yang berbakat, mendapat
tentangan dari ayahnya, Higoshi Josuke. Josuke adalah seorang ayah yang keras,
kaku, dan menerapkan disiplin tinggi pada Elaine. Dia menginginkan anak semata
wayangnya itu menjadi ilmuwan, bukan menjadi dirigen. Namun, Elaine mencintai
musik sebagaimana musik mencintainya. Musik adalah bagian hidupnya. Elaine
merasa terkekang untuk meraih impiannya menjadi field commander. Namun, dia juga dihadapkan pada dilema lain. Dia
terpilih untuk mewakili sekolahnya dalam Olimpiade Fisika di mana pelaksanaan
olimpiade itu bertepatan dengan GPMB. Elaine bimbang. Rene mendorongnya untuk
menentukan keputusan dengan menegaskan bahwa Elaine harus menyelesaikan apa
yang sudah dimulainya.
Sementara
itu, Tara, yang memainkan snare drum,
mengalami kesulitan dalam menyelaraskan irama karena keterbatasan
pendengarannya. Meskipun dia menggunakan alat bantu dengar, hal itu tak banyak
membantu. Dibayangi oleh masa lalu yang terus membuatnya dihantui rasa
bersalah, Tara menjadi pribadi yang labil, sensitif, dan mudah goyah.
Kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam telah merenggut nyawa ayahnya,
merenggut rasa percaya dirinya karena dia hampir kehilangan kemampuannya
bermain drum. Ibunya pun meninggalkannya, memilih melanjutkan studi S-2 karena
mendapatkan beasiswa di sebuah universitas di Inggris. Tara merasa
ditelantarkan meskipun masih ada kakek dan neneknya yang sangat menyayanginya.
Ketika Rene melontarkan teguran sarkartis yang terlalu keras untuk Tara karena
dia melakukan kesalahan saat latihan, Tara menjadi semakin rapuh. Dia memilih
mundur dari keanggotaan marching band.
Dia merasa dirinya tak mampu. Sama sekali.
Di
sisi lain, Lahang, pemuda Dayak yang mengisi posisi sebagai color guards, seringkali terlambat
latihan karena jarak rumahnya yang sangat jauh dari tempat latihan. Tariannya
pun tidak pernah berhasil mulus. Penyakit yang menggerogoti ayahnya membuat
konsentrasinya terpecah. Ayahnya didiagnosa mengidap kanker otak. Pengobatan
tradisional yang sudah dilakukan pun tidak menuai hasil. Untuk sementara,
Lahang bisa tenang karena seorang pemeliatan, yang juga teman baik ayahnya,
mengatakan bahwa ayahnya akan segera terbebas dari rasa sakit. Bukan berarti
ayahnya akan sembuh, justru sebaliknya. Lahang ingin sekali bisa mengikuti GPMB
di Istora. Tetapi dia harus menjaga dan berada di sisi ayahnya, karena dia
takut tidak bisa melepas kepergian ayahnya ketika tiba waktunya nanti. Ibunya
sudah meninggal beberapa tahun lalu, tanpa Lahang sempat melihat wajah terakhir
ibunya sebelum dimakamkan. Satu-satunya peninggalan dari ibunya adalah potongan
kertas koran yang menampilkan foto Tugu Monas. Lahang sangat ingin menunjukkan
kepada ayah dan almarhumah ibunya, kalau dia bisa mencapai Monas, tugu
impiannya.
Lalu,
apa yang selanjutnya terjadi?
Ayah
Elaine tetap bersikukuh melarang Elaine untuk tampil di GPMB. Tanpa
sepengetahuan Josuke, Elaine membatalkan keikutsertaannya dalam Olimpiade
Fisika. Hal ini membuat Josuke marah besar. Dia sempat bersitegang dengan Rene.
Elaine merasa sangat bersalah. Namun, ketika Elaine tampil di malam geladi
resik, timbul setitik kebanggaan Josuke pada Elaine dan akhirnya dia memberikan
izin putrinya untuk mengikuti GPMB.
Tara
yang keras kepala, akhirnya memilih kembali bergabung dengan tim marching band. Bukan demi ibunya. Bukan
demi kakek dan neneknya. Tetapi demi dirinya sendiri.
Sedangkan
Lahang? Beberapa jam sebelum tampil di Istora, dia mendapatkan kabar bahwa
ayahnya meninggal dunia. Betapa terpukulnya Lahang, tak berada di sisi ayahnya
ketika ayahnya pergi. Hampir saja dia kembali ke Bontang, ketika dilihatnya
seekor elang hadir di langit. Elang itu mengingatkannya pada sosok ayahnya yang
ingin menjadi elang di kehidupan selanjutnya.
“...kalau
ingin tahu seberapa tinggi kamu bisa terbang, terbanglah.” (Rene, halaman 217)
Lahang
mencoba berdamai dengan takdir. Hanya dengan cara itu dia bisa melanjutkan
hidup. Sejenak berpikir, Lahang memutuskan untuk “terbang”.
Kisah
dalam novel 12 Menit ini menghadirkan
nilai-nilai kehidupan yang sangat memotivasi dan menginspirasi. Dibutuhkan
harapan, keyakinan, serta kerja keras untuk meraih impian. Latihan selama
ribuan jam hanya demi 12 menit penentuan, tidak sia-sia. Awalnya memang tidak
mudah, tetapi pada akhirnya, proses yang dijalani dengan keteguhan hati akan
memberikan hasil yang lebih dari indah.
Sang
penulis, Oka Aurora, menampilkan penokohan karakter yang kuat. Dengan
kalimat-kalimat sederhana, namun penuh hikmah, novel ini menjadi bacaan yang
sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh segala usia. Tidak menggurui, tidak
menghakimi, tetapi menggoncangkan hati. Pembaca akan dibawa pada fluktuasi
emosi haru, lucu, sedih, dan gembira. Inilah buku yang sangat inspiratif yang
akan menggugah hati siapa pun yang membacanya.
Comments
Post a Comment