Titik Nadir Nadira
Judul : 9 dari Nadira
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG
Perancang Sampul:
Wendie Artswenda
Ilustrator Sampul dan
Isi: Ario Anindito
Cetakan I : Oktober
2009
Tebal : 270 halaman
ISBN : 978-979-91-0209-6
Leila S. Chudori menyebutkan
bahwa buku ini adalah kumpulan cerpen, bukan novel. Tapi saya menganggapnya
sekumpulan cerpen yang pantas disebut novel. Karena ada keterkaitan antara satu
cerpen dengan cerpen lainnya. 9 dari Nadira (versi yang diterbitkan 2009) terdiri dari 9 cerpen:
- Mencari Seikat Seruni
- Nina dan Nadira
- Melukis Langit
- Tasbih
- Ciuman Terpanjang
- Kirana
- Sebilah Pisau
- Utara Bayu
- At Pedder Bay
Di kesembilan cerpennya ada tokoh Nadira. Nadira yang sama.
Sehingga tepat juga kalau judulnya 9 dari Nadira. Saya membacanya tidak secara
urut, karena--seperti yang disampaikan oleh penulis--buku ini merupakan
kumpulan cerpen. Cerpen pertama yang saya baca adalah "Nina dan Nadira". Lalu "Ciuman
Terpanjang", "Kirana", dan seterusnya saya lupa urutannya hingga yang terakhir At Pedder Bay.
Hmpph... perasaan antara lega dan sesak muncul setelah
membaca cerpen terakhir.
9 dari Nadira ini bagus sekali,
menurut saya. Ceritanya kompleks. Menggunakan gabungan POV 1 dan 3 dengan alur maju-mundur.
Namun, tidak membingungkan karena kita bisa tahu dengan jelas, siapa yang
sedang bernarasi.
Saya terseret kisah pelik
kehidupan Nadira dan keluarganya. Membaca buku ini terasa seperti membaca kisah
nyata orang lain. Saya benar-benar terbawa emosi membaca
kumpulan-cerpen-yang-pantas-disebut-novel ini.
Sesak. Getir. Melelahkan. Hidup Nadira kurang lebih bisa
digambarkan dalam tiga kata itu. Nadira mempunyai dua kakak, Nina dan Arya. Nina
adalah seorang perempuan ambisius, ekspresif, egois, dan keras kepala. Sebagai
anak pertama sifatnya justru kekanak-kanakan. Karakternya lebih cocok
dilekatkan pada anak terakhir, meskipun tidak semua anak terakhir itu manja dan
menyebalkan. Saya menganggap Nina sebagai tokoh antagonis yang bersikap kejam
kepada Nadira.
Lalu Arya. Kakak kedua Nadira ini
begitu penyayang meskipun masa remajanya bandel. Namun, dia tak cukup pemberani
menghadapi kenyataan bahwa ibunya telah meninggal dunia dengan menenggak pil
tidur. Ibu yang kelihatannya punya pendirian teguh justru mengakhiri hidupnya
dengan cara demikian. Saya masih penasaran mengapa ibunya memilih melakukan itu. :( Arya
justru melarikan diri ke hutan (maksudnya fokus bekerja mengurus pekerjaan kehutanan)
daripada mengurus ayahnya.
Ayah Nadira, Bram, dari apa yang
saya baca di kumpulan cerpen yang pantas disebut novel ini sebenarnya bukan
tipe yang keras kepada istri. Tetapi dia menyimpan luka. Karirnya sebagai
wartawan di masa lalu begitu cemerlang. Dia mengalami post power syndrom. Dia masih saja terbayang-bayang
kejayaannya sebagai wartawan senior di masa lalu.
Nadira sendiri, karakternya tidak
terlalu sempurna. Hal tsb membuat penokohan menjadi realistis. Tangguh, juga
rapuh. Sebagai perempuan, dia kurang sensitif. Bagaimana bisa dia tidak
menyadari perasaan Tara terhadapnya? Atau jangan-jangan dia sebenarnya tahu,
tetapi terlalu terluka oleh kematian ibunya, hingga larut dalam kesedihan? Entahlah.
Saya geregetan, sampai-sampai menganggap Nadira ini cerdas (dalam urusan
pekerjaan) tapi maaf, terlalu bodoh untuk menyadari perasaan Tara/Utara
Bayu (saya lebih suka menyebutnya Utara. Terkesan lebih maskulin). Bisa dibilang
Nadira ini tipe plegmatis, ada kolerisnya sedikit. Karakter
sanguinisnya tidak menonjol (sanguinis cenderung kurang peka terhadap sekitar), tetapi dia sangat tidak peka karena mengabaikan
Tara. Secara fisik, barangkali Nadira good looking, karena banyak lelaki
yang jatuh hati padanya. Di buku hanya dituliskan bahwa dia manis dengan
pulasan bedak tipis dan lipstik merah muda. Saya bayangkan dia berperawakan kurus
tinggi, mungkin sekitar 165 cm dengan kulit kuning bersih.
Nadira menyimpan banyak luka. Luka
masa lalu atas perlakuan-perlakuan Nina hingga dia menyimpannya ke alam bawah
sadarnya. Juga luka atas kematian ibunya.
Bagian yang menarik salah satunya
adalah ketika Nadira mewawancarai psikiater (yang juga psikopat) yang dipenjara
karena melakukan pembunuhan berkali-kali. Korbannya selalu saja perempuan paruh
baya dengan nama depan berawalan huruf M dan mempunyai anak lelaki yang
diperlakukan sekehendak ibunya. Psikiater itu sangat cerdas hingga bisa membaca
apa yang terjadi pada Nadira padahal mereka tak pernah membicarakan kehidupan pribadi Nadira.
Permasalahan tentang budaya,
psikologi, agama, roman, kehidupan wartawan, berbaur menjadi satu menjadi rangkaian
cerita yang sangat layak dinikmati. Ada pula sedikit isu feminisme di sini. Nina termasuk seorang feminis yang ternyata luluh oleh lelaki flamboyan bernama Gilang Sukma
yang sudah bercerai tiga kali sebelum menikahi Nina. Bahkan Gilang juga menaruh
hati pada Nadira.
Ada quote yang juga menarik:
“Saya rasa kamu tak ingin mendengar satu kata pun yang buruk tentang orang yang kau cintai.” (hlm. 57)
Berbagai latar tempat dalam kumpulan
cerpen ini bukan setting tempelan. Masing-masing latar sangat berpengaruh dalam
kronologis cerita. Pesan moralnya pun kuat.
Di cerpen terakhir, ada surat elektronik dari Nina untuk Nadira. Dalam surat itu, penggunaan kata 'saya' dan 'aku' tidak konsisten. Ini saja sih, mungkin yang agak mengganggu, tetapi tidak masalah. Di keluarga Nadira, di antara kakak dan adik menggunakan kata ganti 'saya'. Terkesan memberi jarak.
By the way, ke mana perginya
Kris yang pandai menggambar di cerpen "Sebilah Pisau"? Saya sangat suka cara dia memperhatikan Nadira.
Penggunaan POV-1 pada cerpen tersebut menimbulkan kesan manis. Ilustrasinya pun berhasil memberikan penekanan pada cerita dan cukup menghibur.
Ini tulisan Leila S. Chudori yang
pertama saya baca. Dari segi waktu, barangkali terlalu terlambat. Tetapi tak
pernah ada kata terlambat untuk membaca tulisan bagus. :)
*4,5 of 5 stars
*4,5 of 5 stars
Comments
Post a Comment